Suka Mengamati Orang Lain yang Sedang Melakukan Aktivitas

Dari dulu suka sekali mangamati orang lain di sekitar. Namun, baru sadar akhir-akhir ini saja. Contohnya kemarin waktu antri ambil obat di Rumah Sakit Swasta di kota tempat saya sini. Saya melihat beberapa orang pasien. Mulai dari yang masih remaja, lansia, ibu-ibu, pasangan suami istri yang menurutku romantis dengan cara mereka sendiri, dan beberapa orang yang membawa anak mereka----termasuk saya. Mencuri perhatian saya, ada seorang pasien yaitu ibu yang kira-kira berumur 40 tahunan. Suaminya dengan sabar mengikuti istrinya yang mondar-mandir jalan ke toilet, mondar-mandir semaunya bahkan terkadang lupa bahwa dia berjalan mondar-mandir buat apa tujuannya. Terlihat sekali bapak itu sangat sabar. Terkadang juga jilbab ibunya itu acak-acakan, lalu dibetulkan oleh bapaknya. Berulang kali. Saya melihat pemandangan bapak yang membetulkan jilbab ibunya yang acak-acakan itu jadi terharu banget. Cuma saya tahan aja untuk tidak netes air mata. Bapaknya dengan sabar dan sangat sabar kalau menurut saya. Ada lagi pemandangan ibu dan bapak sama-sama lansia, mungkin umurnya sekitar 60 tahunan. Bapaknya menggunakan setelan batik dan celana kain. Sedangkan ibunya menggunakan baju daster berjilbab. Bapaknya dengan tatapan kosong menatap orang di sekitarnya. Hal itu mengingatkan saya waktu awal mula sakit dulu, beda usia saja. Ibu itu selalu menggandeng tangan bapaknya. Mungkin supaya bapaknya tenang. Soalnya kelihatan banget bapaknya cemas dan tatapan kosong. 

Ada lagi seorang remaja dan ibunya. Ibunya remaja tersebut bercerita dengan pasien lain tentang keluhan-keluhan anaknya bahwa anaknya mempunyai penyakit GERD disertai kecemasan. Rasa cemas dan gelisahnya itu yang menjadi masalah baru untuk anaknya tersebut. Sedangkan ibu yang diajak cerita itu menceritakan bahwa dia mengambil obat milik anaknya yang sakit skizofrenia. Mungkin para ibu ini dengan bercerita bisa membuat mereka sedikit leluasa memikirkan anak mereka. Mereka bisa dengan enak bercerita. Selanjutnya, ada yang seperti saya. Seorang ibu yang membawa anaknya yang masih berumur kira-kira 5 tahunan. Ibu itu mengambil obat suaminya. Suaminya didiagnosis bipolar semenjak mereka menikah setelah usia pernikahan 6 tahun---setelah punya anak katanya. Ibu itu bercerita dengan ibu sampingnya yang terdengar ke telinga saya. Mereka bercerita satu sama lain mengenai keadaan suami mereka. Ibu itu juga sempat membawa suaminya ke ustad untuk dirukyah---istilahnya. Ternyata tidak ada efeknya. Kemudian mencoba secara medis. Seperti menghabiskan waktu hampir 3 jam dan mereka masih tetap mengobrol sampai akhirnya salah satu dari mereka dipanggil psikiater masuk ruangan. 

Dari hal-hal tadi, saya jadi berpikir bahwa kita semua memang selalu diuji dengan cara masing-masing. Orang yang terlihat tidak apa-apa bisa saja terkena penyakit mental yang kita sendiri juga tidak bisa mendiagnosanya sendiri. Entah dicoba dengan masalah kesehatan mentalnya, ekonominya, masalah dengan keluarga yang tidak harmonis, bahkan cerita sepele patah hatinya. Semua adalah ujian. Bahkan, ketika kita senang pun itu termasuk ujian. Ujian yang tersembunyi dalam tawa. Satu hal lagi, hal semacam masalah kesehatan mental berhubungan dengan imannya juga masih banyak digaungkan di masyarakat luas. Seperti cerita dua ibu terakhir tadi. Padahal, itu tidak ada hubungannya. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tips Menyapih Anak dengan Kasih Sayang.

Review Film: Jatuh Cinta Seperti di Film-Film (2023).

Review Wisata : Rawa Pening Ambarawa.